2 minggu lalu saya melahirkan putri kedua saya, dan kebahagiaan bertambah meliputi diri saya.
Sejak awal kehamilan banyak yang mendoakan “semoga anaknya laki-laki ya, biar sepasang”. Beberapa bertanya “udah usg belum? anaknya laki-laki atau perempuan?”. Ada yang bahkan terang-terangan mengatakan “wah perempuan lagi anaknya, coba lagi satu atau dua kali lagi lah biar dapat anak lelaki”. why oh why people can be so toxic to others.
Entah bagaimana budaya kita sangat concern terhadap jenis kelamin janin dibanding kondisi kehamilan dan kondisi sang ibu misalnya. Diakui atau tidak, di masyarakat kita gap gender masih sangat tinggi. Anak laki-laki dianggap lebih terhormat kedudukannya, sehingga kehadirannya lebih dinantikan dibanding anak perempuan. Anak laki-laki dianggap lebih mendatangkan tahta, mengamankan harta, dan simbol kebanggaan serta kekuatan sebuah keluarga. Oh ya, tidak jarang terjadi “harapan tinggi” untuk memiliki anak laki-laki itu datangnya dari sang ayah.
Merasakan hamil 2 kali, dan melahirkan 2 kali, merasakan janin bersatu dengan diri di dalam buaian, perihal jenis kelamin janin tidak pernah menjadi concern utama saya. Mestinya memang fikiran seorang ibu hamil dijauhkan dari fikiran-fikiran yang mengganggu. Jenis kelamin janin sudah ditetapkan Tuhan satu paket dengan takdir yang akan meliputinya di masa depan, mengapa harus menjadi fikiran yang mengganggu bagi ibu? Fikiran ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan sangat rentan terpegaruh karena mood swing akibat perubahan hormon, ketika sering ditanya mengenai jenis kelamin anak, alam bawah sadarnya akan terus memikirkan pula hal tersebut dan melupakan hal lain yang lebih penting perihal kehamilan yaitu kesehatan Ibu dan janin, nutrisi ibu dan janin, psikologis ibu dan janin, yang justru akan berefek panjang hingga di masa depan.
Berapa kalipun saya hamil dan memberikan kehidupan kepada anak perempuan, saya akan tetap bahagia dan tidak akan membiarkan orang lain menghancurkan kebahagiaan itu.