Kemarin malam saya menghadiri peringatan Wiladah Imam Ali Ridha (as). Imam Ali Ridha (as) adalah Imam ke-8 dalam silsilah Imamah mazhab Ahlulbayt. Dilahirkan di Madinah dan dimakamkan di sepetak tanah di Thus. Sepetak tanah itu, karena keberkahan Imam yang dipeluk tanah itu, menjadi sepetak tanah yang paling banyak diziarahi di Iran, dan bahkan di dunia. Sedangkan Mashad adalah nama yang kemudian disematkan kepada petak tanah itu kemudian. Artinya tempat shahid. Letaknya di provinsi Khurasan. Silahkan telusuri letaknya melalui bola dunia.
Sebelumnya saya ingin berbagi ringkasan ceramah yang pernah disampaikan Ustdaz Miftah tentang Imam Ali Ridha (as) tahun lalu. Harusnya saya posting tahun lalu, tapi dengan alasan yang sama (baca; malas) tulisan-tulisan ini jadi terkubur di draft.
Salah satu julukan Imam Ridha (as) adalah Gharibul Ghurba, artinya yang terasing dari semua yang terasing. Mengapa? Para Imam Ahlulbayt dimakamkan dekat satu sama lain, misal di Baqi, di Iraq. Imam Ridha dikebumikan di Mashad, jauh dari keluarganya, dan terasing.
Para Imam dari silsilah keluarga Nabi selalu dikebumikan di tempat yang rahasia, tersembunyi pada awalnya. Najaf; pusara Imam Ali (as), pada awalnya juga bukan sebuah kota. Kota besarnya adalah Kuffah. Tapi karena keberkahan para Imam itu, maka Najaf perlahan-lahan didatangi oleh para peziarah. Banyak orang yang memilih hidup di Najaf dan lama kelamaan meninggalkan Kuffah menjadi kota lama yang ditinggalkan. Begitu juga Thus. Mashad lah yang berkembang.Thus lama kelamaan ditinggalkan. Sekarang bahkan tidak menjadi sebuah kota sama sekali.
Tidak kurang dari 30 juta peziarah yang datang ke Mashad dalam pekan wiladah Imam . Jauh lebih banyak daripada jemaah haji. Memang datangnya bertahap.Tapi kalau dihitung occupancy, hotel, dan lain sebagainya, ada 30 juta peziarah yang datang ke Imam Ridha (as).
Ustadz Miftah pernah ditanya seorang pengkhidmat pusara Imam Ridha di Iran.
Apa kedekatan orang Indonesia dengan Imam Ridha (as)? Atau apa ada yang istimewa (yang spesial) pada bagaimana orang Indonesia memandang Imam Ridha (as)?
Jawaban Ustadz Miftah;
Imam Ridha (as) itu disebut Gharibul Ghurba (yang terasing dari yang terasing). Dan kami, para pengikut Ahlulbayt di Indonesia itu merasa seperti itu. Kami juga merasa terasing dari yang terasing.Jauh dari siapa-siapa.Kami tidak punya “tempat pelarian”, “tempat perlindungan”. Kalau para pengikut Ahlulbayt di Indonesia kepada siapa kalau mau ziarah? Jadi, mungkin yang mendekatkan kami dengan Imam Ridha (as) yaitu: kami sama-sama yang terasing.
Jadi kami merasa, para pengikut Ahlulbayt itu seperti Imam Ridha (as) dulu.Terasing. Jauh dari keluarganya, jauh dari keluarga kami (para pengikut Ahlulbayt yang lain).
Tapi, Imam Ridha (as) tidak lagi jadi yang terasing dari yang terasing. Karena Imam Ridha (as) berada di tengah tengah keluarganya, berada di tengah-tengah para peziarahnya. Justru sekarang Imam yang terasing itu, yang di Irak, yang di Baqi’. Jauh dari keluarganya, jauh dari para pecintanya. Yang di Baqi’, mau mendekati saja dilarang. Rasulullah (sawa) pun terasing dari para pecintanya, dari para perindunya. Ziarah berlama-lama dihalangi sedemikian rupa, dan banyak larangannya. Imam Ridha (as) yang dijuluki yang terasing dari semua yang terasing, sekarang telah pulang ke rumahnya. Berada di tengah-tengh keluarganya, di tengah-tengah para pecintanya.
Menarik kutipan ceramah Ustadz Miftah itu. Manakala kita merasa terasing, jadi teringat para Imam itu. Kita jauh dari mereka dan terpisah jarak dan rentang waktu yang sangat panjang. Saya seringkali tidak nyaman menceritakan suasana hati saya terkait spiritual. Itu personal, saya tidak ingin menuliskannya, saya ingin dapat membatasinya untuk diri saya sendiri. Jadi terkait hubungan dengan Imam Ridha, saya akan berhenti di sini. Tentang perasaan saya mengenai peringatan tadi malam, semoga Allah menetapkan perasaan ini untuk selalu berada di hati saya.
Oh ya, acara tadi malam diberkati pula dengan kehadiran 4 orang pengkhidmat pusara Imam Ridha (as). Jadi, jika kita diberkati untuk dapat menziarahi Imam dari dekat, mungkin kita akan bertemu para pengkhidmat itu. Seringkali saya mendengar tentang para pengkhidmat pusara Imam Ridha (as). Atau melihat tayangannya di internet. Banyak dari para pengkhidmat itu adalah akademisi dengan titel tinggi dan para pengusaha sukses. Mereka rela menunggu antrian untuk dapat menjadi para pengkhidmat Imam Ridha (as). Ada yang menjadi penjaga dan pengelap sepatu, ada yang menyediakan makan dan minuman, yang menyapu dan mengepel, dan sebagainya. Mazhab Ahlulbayt memang identik “mencuri” berkah dengan cara seperti ini. Saya bayangkan, betapa humble-nya para pengkhidmat itu. How can a soul as humble as that? their humbleness put me to shame and speechles, i could cry because of their humble soul. Membandingkan dengan betapa jumawanya para pejabat di negara ini..

.. tamu kehormatan yang hadir ..

.. jamaah yang hadir ..
Keempat pengkhidmat itu adalah; seorang dosen dan dokter mata, seorang akademisi yang telah menulis puluhan buku, seorang doktor yang juga akuntan, dan seorang dosen lulusan Amerika. Yang kelima diantara tamu kehormatan adalah dosen di ICAS Paramadina, yang menurutnya mulai jatuh cinta kepada Indonesia selama 4 tahun ini. Mereka diberkati kerendahan hati untuk dapat berkhidmat kepada Imam Ridha. Yang akuntan itu, qiroat tingkat internasional yang bacaannya menurut saya dapat meluluhlantakkan hati manapun. Yang akademisi dan penulis itu, bertausiyah dalam waktu 5 menit saja dapat menyejukkan hati manapun, yang dosen ICAS itu, tidak pernah melepaskan senyum dari wajahnya, beliau sepertinya jatuh cinta sekali dengan suasana peringatan malam itu, hhehe..
Satu hal yang sama dari mereka; mereka berjanji kepada kami untuk menyampaikan salam dan ziarah kami kepada Imam Ridha as di Mashad.
Ustadz Jalaluddin Rakhmat pun memberikan waktunya untuk menyampaikan untaian hikmah kelahiran Imam Ali Ridha (as). Sebelum acara berakhir, ini yang mengharukan. Mister qiroat itu (Mr. Ali Ashgar Nabavi) memimpin kami berziarah kepada Imam Ridha (as). Hmm.. Jadi kangen lagi suasana peringatan tadi malam. Dari Mashad, mereka membawakan kami foto-foto pusara Imam, gula dan garam yang biasa disajikan di sekitar pusara Imam.. daaan.. kain hijau bendera di pucuk tomb pusara Imam.
Kami diizinkan bersalaman dengan mereka, mengambil keberkahan dari para pengkhidmat itu, diizinkan menyentuh dan mencium keberkahan dari kain hijau itu..dan membawa pulang foto beserta gula-garam itu.. di dalam bungkus gula garam itu ternyata ada sehelai kain kecil potongan dari kain penutup pusara Imam Ridha (as).. alhamdulillah..

.. bendera di pucuk tomb pusara Im Ali Ridha (as) ..
This slideshow requires JavaScript.
Ketika acara berakhir..saya terpaku di tempat saya duduk. Hadirin bersiap pulang, namun saya enggan beranjak. Saya menulis sesuatu di kertas. Sebuah surat dengan tulisan tangan saya untuk Imam Ridha (as). Saya menuju ke Mister Ali Ashgar Nabavi, saya meminta beliau membacakan tulisan tangan saya itu di hadapan pusara Imam Ridha (as) di Mashad. Perasaan saya tidak karuan.. my heaaaart.. may my handwriting reaches Imam Ridha (as)..
(foto-foto dicapture oleh Ibu Enovita Miftah)