Beautiful Strangers

Sebulan terakhir banyak ketemu orang asing yang secara instan merubah cara pandang saya dalam banyak hal. Entah bagaimana semesta bekerja atas kuasa-NYA mengantarkan mereka begitu indahnya ke dalam kehidupan saya.

***

  • Saya sedang berjalan sore hari sepulang kerja, ketika sebuah motor yang dikendarai seorang ibu berjilbab menghampiri saya, dengan ramah menawarkan tumpangan, ternyata (entah bagaimana) tujuan kami satu arah, menuju supermarket yang sama. Pertama, saya menolak tawarannya dengan halus. Bukan karena curiga (meski ada sedikit hal itu dalam hati saya), tapi lebih dari itu saya terbiasa menyusuri jalanan itu sepulang saya kerja untuk mengulur rasa. yap, suasana sore hari sepulang kerja rentan galau ketika lampu-lampu hias mulai menyala, haha. akhirnya setuju turut serta, karena permintaannya agar jangan curiga kepada sesama muslim. 🙂

Di perjalanan dan di supermarket itu kami bercerita. Ternyata suaminya adalah seorang mualaf asal Amerika yang sedang mempelajari Islam lebih dalam, sehingga mereka sedang mencari seorang yang ahli dalam bidang itu. Kami berbagi tentang pengajian yang masing-masing kami ikuti, dan saya merekomendasikan beberapa nama untuk beliau hubungi terkait ini. Pada perpisahan, kami bertukar nomor telepon.

Seringkali tiba-tiba beliau mengirimi saya pesan di whatsapp, entah itu sekedar mengucapkan selamat pagi atau mengirimkan doa singkat. Beberapa hari lalu, saya mengiriminya salah satu buku favorit saya ke alamat rumahnya. Ternyata, buku itu sampai tepat sehari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, pulang sejenak ke kampung halaman suaminya. Buku itu dibawanya untuk menemani perjalanan mereka. sweet!

.. beautiful message she sent to me ..

.. beautiful message she sent to me ..

***

  • Saya memberhentikan seorang penjual kue putu untuk membelinya, di tengah perjalanan saya sepulang kerja. Tetiba seorang ibu menghampiri juga, dan kami membeli kue bersama di depan rumahnya. Penjual kue putu itu pastilah mendapatkan pahala sedemikian rupa, karena jualannya itu akhirnya saya berbincang banyak dengan Ibu tersebut. Tentang tempat tinggal masing-masing, keluarga masing-masing, dan tawarannya untuk mampir di rumahnya kapan-kapan ketika ada waktu. Rumahnya setiap hari saya lewati.

“saya juga punya anak yang kerja di IT juga loh mba, nanti saya kenalkan..”

kalimat terakhir dari beliau sebelum saya mengucapkan salam perpisahan. awkward.. 😛

beberapa hari lalu, ketika saya berangkat kerja, ternyata Ibunya sedang memanen mangga, dan saya menyapanya. Berterima kasih karena saya mengingatnya, katanya. teaaars! kenapa seramah itu?! kemudian beliau memberikan saya beberapa buah mangga hasil panen tersebut, berkah banget ya!

“maaf lho mba milta, pasti mba milta tiap lewat sini mbatin ya.. ko mangganya ngga dipanen-panen, padahal udah matang.. saya merasa dosa loh mba, takut banyak yang mbatin..”

“aah ibu, saya malah lebih berharap ketemu Ibu dibanding dikasih mangganya..”

alhamdulillah, jadi punya tetangga yang punya mangga 😀

***

  • Saya sedang membuka tali sepatu untuk bersiap menunaikan shalat di sebuah mushala, ketika tiba-tiba 2 anak kecil menghampiri saya dan mengagetkan dengan sapaan “teteh cantiik..!”

eh, they are talking to me? 🙂

Namanya Indira dan Salma. Beberapa menit kemudian mereka sudah akrab dengan saya, dan seolah ingin menunjukkan kepada saya apa saja yang mereka sukai. salah satu dari mereka mengambil seekor kucing liar, satu yang lainnya membeli sosis. Ternyata mereka hendak memberi makan kucing liar itu. entah bagaimana, kucing liar itu begitu penurut kepada mereka. pastilah karena kelembutan hati mereka.

we pray together.. shared stories and laughter. they are so so so cute, i could cry for the cuteness, wallahi!

“Teteh meuni baik ih, kalau nanti menikah undang kita ya, mau liat teteh baik menikah pakai gaun… “

*real tears for the cuteness!

Indira memaksa saya ikut ke rumahnya untuk menunjukkan sesuatu. Sepanjang jalan menuju rumah Indira, mereka berdua tak mau melepaskan tangan mereka dari genggamannya kepada tangan saya (beneran menangis ketika menuliskan ini! they are so beautiful as heaven!). Ketika sampai di rumahnya, Indira ternyata hendak menunjukkan kucing Persia kesayangannya. Dan beberapa saat kami berbincang di bale-bale halaman rumahnya. mereka tidak menyadari, bahwa saya tidak tertarik kucing, hehhe.

ketika saya berpamit pulang, air mata! pernahkah anda merasakan dipeluk dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa mereka, with their entire being? embracing them to both; let them go and hold them tight in your embrace?

saya beranjak dari mereka dengan air mata, padahal bisa mendatangi mereka kapan saja. tapi, rasanya pelukan keengganan mereka melepaskan sayaa…daaaamnn.. i wanna take them to my house!

… lambaikan tangan agar pergi lebih mudah …

tapi kemudian menjadi lebih berat, ketika saya telah berjalan beberapa meter dan tiba-tiba berbalik karena mereka memanggil dari kejauhan;

teteh cantiik.. dadaaah..

ain’t they are too sweet?! yes.

.. moment to embrace ..

.. moment to embrace ..

***

  • seseorang entah darimana menemukan saya melalui blog ini, tenggelam di dalamnya hingga tulisan pertama di 2009 (itu berarti 800an lebih cerita tentang kehidupan saya dibacanya). Hanya berbekal nama penulis blog ini, dia mencari saya begitu rupa dan tak berhasil menemukan saya di sosial media. Tak berhenti disana, kemudian mengirim acak email dengan beberapa kombinasi email yang mengandung nama saya, dan tak ada satupun yang berhasil. Entah bagaimana, semesta mendukungnya. Sebuah titik terang untuknya kemudian dia menemukan saya, dan kami berkirim pesan satu sama lain.

Di ajakannya yang ke-4 saya kemudian setuju untuk bertemu. aaaand.. he’s more amazing in person! a beautiful soul he has. and Alhamdulillah, we are mutual in so many things (hobbies, ideas, places to go, food, and point of views). Such a nice stranger you want to meet at least once in your life!

.. somewhere only we know ..

.. somewhere only we know ..

***

Some strangers were came into your life, but not supposed to be with you forever. They departed, and spend some time with you purifying you before they leave to keep spreading their blessing to others. May you be blessed to meet beautiful strangers too.

Spoiler : Backpacking ke Kediri dan Blitar

(klik gambar untuk ukuran gambar lebih besar)

.. Kediri ..

1 ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ???????????????????????????????

 .. Blitar ..

??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ???????????????????????????????

.. Kediri Malam ..

??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ???????????????????????????????

.. Kediri lagi ..

??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? 19 Gua Maria Pohsarang Kediri ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ??????????????????????????????? ???????????????????????????????

.. pulang ..

???????????????????????????????

Next Destination : Yogyakarta!

Belum selesai cerita perjalanan Singapura dan Surabaya, saya sudah tergoda untuk membeli tiket kereta ekonomi pulang pergi dari Bandung ke Yogyakarta. Saya berencana solo travelling lagi akhir bulan ini ke Yogyakarta. Ada libur panjang selama 3 hari bertepatan dengan Tahun Baru Saka 1436, ingin turut mengkhidmati acara saudara-saudara kita umat Hindu yang melakukan peribadatannya di beberapa candi di Yogyakarta pada pekan tersebut. Smeoga kita tidak mengganggu dan tidak rusuh seperti tahun lalu yaa.. 🙂

Saya akan bertemu salah seorang teman disana, dan sudah ada beberapa tujuan yang ingin saya kunjungi. Namun sekiranya ada di antara anda yang ingin merekomendasikan tempat-tempat menarik di Yogyakarta, saya akan sangat berterima kasih. 🙂

Berbicara tentang tiket kereta ekonomi AC, saya dapatkan dengan harga 175 pulang-pergi. Ternyata pagi ini saya mendengar kabar bahwa per 1 April 2014 harga tiket kereta ekonomi AC untuk beberapa tujuan jarak jauh akan diturunkan. Sedangkan harga tiket kereta ekonomi jarak sedang malah sudah diturunkan sejak tanggal 1 MAret 2014. Waduh, sayang sekali. Padahal tadinya saya memang berencana pergi ke Yogyakarta pada pertengahan April. Itu berarti saya akan dapat menghemat sekitar 40% dari harga tiket dan bisa dialokasikan untuk menyewa hotel backpacker. Hmm.. walaupun begitu, saya tetap berharap semoga perjalanan saya menyenangkan. 🙂

Oh iya, berikut saya berikan link mengenai kabar gembira turunnya harga tiket kereta ekonomi : Tempo : Harga Tiket Kereta Turun, Rute Mana Saja?

Surabaya Trip. Day 1 : Wisata Ziarah Sunan Ampel, Surabaya

Tujuan pertama  kami diajak menuju Komplek Mesjid Ampel. Mesjid Ampel adalah tujuan utama saya pergi ke kota ini. Kami melewati kawasan kota tua dan pecinan sebelum memasuki komplek Mesjid Ampel. Hujan gerimis mengawali awal perjalanan kami. Semakin lama hujan semakin membesar. Dilihat dari peta, sepertinya kami juga melewati daerah tempat hotel saya berada. Namun saya belum menemukan dimana persisnya hotel kami berada. Pemandu terus menceritakan tentang tempat-tempat wisata di Surabaya berikut beberapa sejarah dan kebiasaan warga sekitarnya. Sekilas saya memperhatikan, Surabaya sedang giat membangun taman, sama seperti Bandung. Kami melewati taman buah dan taman ekspresi. Salut juga dengan kota ini. Mereka berusaha membangunnya lebih hijau dan segar, karena udara Surabaya terkenal cukup gersang dan panas. Pemandu menceritakan begitu tertariknya warga Surabaya akan pembangunan taman-taman itu.

Kami sampai di komplek Mesjid Ampel. Hujan deras mengiringi kedatangan kami. Ternyata bis menyediakan payung untuk para penumpangnya. Hari itu tanggal 25 Januari 2014. Itu berarti tepat 1 tahun lalu saya juga berada di Mesjid Ampel. Tahun lalu di tanggal yang sama, saya berziarah ke Sunan Ampel bersama rekan-rekan di tempat saya bekerja dalam rangkaian ziarah Wali Sembilan. Terharu juga, hari itu, di tanggal yang sama, saya datang kembali menziarahi orang-orang shalih di sana.

Meskipun hujan deras, ternyata pengunjung tetap ramai. Kami melalui sepetak jalan menuju komplek Masjid Ampel yang penuh sesak oleh para pengunjung dan pedagang. Pedagang di sisi kiri dan kanan jalan kebanyakan keturunan Timur Tengah. Barang yang umum dijual oleh pedagang di kedua sisi antara lain baju muslim, tasbih, minyak wangi, kitab suci, dan buku-buku cerita riwayat tentang Wali Sembilan dan murid-muridnya. Penduduk di sekitar Komplek Mesjid ini pun kabarnya banyak warga keturunan Timur Tengah.

Kita akan berjalan sekitar 75 meter sebelum akhirnya sampai di depan Mesjid Ampel. Makam Sunan Ampel sendiri terletak di belakang mesjid tersebut. Kami hanya memiliki waktu 30 menit disini. Kami mulai memasuki komplek makam. Terlihat banyak peziarah sedang melakukan shalat di mesjid dan berzikir. Yang paling khas dari para peziarah Sunan Ampel adalah rombongan peziarah dari berbagai perkumpulan pengajian dan pesantren terdekat. Sepertinya berziarah sudah menjadi kebiasaan bagi para siswa pesantren itu. Selain rombongan pesantren itu, kita juga akan temui rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak dari berbagai daerah mengadakan ziarah bersama. Saya senang bergabung bersama rombongan peziarah ibu-ibu itu. Mereka, ibu-ibu itu, seketika akan tersenyum jika kita menghampiri mereka untuk ikut bergabung dalam doa ziarah mereka.

Di depan mesjid Ampel terdapat persimpangan. Ke kiri adalah akses menuju Pasar Ampel dan Makam Sunan Ampel, di kanan adalah akses menuju Makam Mbah Soleh. Kami memutuskan berziarah dulu ke makam Mbah Soleh. Kami membaca doa ziarah beberapa menit disana. Menurut cerita, Mbah Soleh adalah penjaga mesjid Ampel semasa Sunan Ampel menyebarkan Islam di Jawa Timur. Mbah Soleh karena keshalihannya, dikisahkan meninggal sebanyak 9 kali. Boleh percaya atau tidak dengan kisahnya, tapi begitulah cerita yang dipercayai turun temurun oleh warga sekitar. 9 makamnya terletak di sebelah timur Mesjid Ampel, walaupun hanya satu makam yang ditandai dengan tulisan Makam Mbah Soleh, ditutupi kain putih dan dipagari. Saya juga tidak sempat nanya, apakah yang ditandai dan dipagari itu makamnya yang terakhir ataukah yang pertama.Selesai berziarah dari Mbah Soleh, kami berbalik arah hendak menuju komplek makam Sunan Ampel.

This slideshow requires JavaScript.

Sebelum memasuki komplek makam Sunan Ampel, saya sempatkan berwudhu. Saya percaya, orang-orang shalih itu tetap “hidup” dan mendapatkan rizki dari Tuhannya setelah meninggalkan dunia ini. Bukankah memang kehidupan dunia itu fana, kehidupan akhirat itu yang sesungguhnya? Menurut cerita Ust. Miftah, orang suci yang sudah mendahului kita itu penglihatannya menjadi tajam. Saya memahaminya begini; mungkin para almarhum orang shalih itu jadi bisa melihat gambaran asli jiwa kita seperti apa. Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman (meskipun ini mesti ditelusuri kebenarannya) tentang Imam Khumayni yang tertunduk dan ketakutan karena melihat orang-orang yang menyalaminya itu dengan berbagai rupa aslinya. Mesti ditelusuri, karena sekiranya memang benar Imam Khumayni melihatnya seperti itu, saya masih menyangsikan Imam akan mengatakan hal itu kepada orang lain. Bukankah itu akan membuat orang lain tersinggung? Menurut Ust. Miftah juga, berwudu menjadikan hijab bagi penampakan wajah asli kita itu. Toh selain itu juga, tata kramanya memang berwudhu sebelum memulai hal-hal yang baik. Berwudhu menjadikan kita lebih tenang dan khidmat.

Setelah berwudhu, kami mulai memasuki komplek makam Sunan Ampel. Tata krama lainnya di setiap tempat ziarah Wali Sembilan adalah melepaskan alas kaki. Dari gapura tampak terlihat makam Sunan Ampel ditutupi kain putih, dipasang pagar besi di sekelilingnya. Kita tidak akan dapat menyentuh makamnya, karena jarak antara pagar ke makam sepertinya hampir 1 meter. Hujan masih deras, dan saya mendekat ke tempat sebuah rombongan Ibu-Ibu berpakaian dengan warna yang sama sedang membaca rangkaian bacaan tahlil bersama di padepokan dekat makam. Area itu terlindung dari air hujan, hanya saja semakin menjauh dari makam Sunan. Di depan kami beberapa rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak berpayung membaca doa sambil berdiri di antara hujan, lebih mendekat ke makam Sunan.

Saya mengambil sebuah buku Yasin dari tumpukan buku Yasin dan Al Qur’an di sebuah rak di dekat saya. Saya fikir, saya tidak memiliki waktu lama. Jadi saya sempatkan membaca surat Yasin, dan beberapa bacaan ziarah. Tidak lama saya selesai membaca surat Yasin dan bacaan ziarah, Ibu-ibu di dekat saya pun sudah selesai membaca doa-doa ziarahnya. Saya menghampiri beberapa dari mereka dan mencium tangannya. Mengambil keberkahan ziarah dari mereka. Saya pun beranjak dari tempat duduk saya, dan menyimpan kembali Buku Yasin itu.

Ketika saya menyimpan buku Yasin itu, saya melihat sampulnya. Bergambar seorang anak perempuan kecil memakai seragam sekolahnya. Saya buka lagi buku Yasin itu. Ternyata buku Yasin itu adalah hadiah Tahlil untuk seorang anak yang meninggal belum genap 3 bulan lalu. Saya melihat wajahnya, terharu. Saya mengambil lagi buku Yasin itu, mencium fotonya dengan haru. Kiranya apa yang membuat anak itu meninggal? Sakitkah? Atau kecelakaankah? Beautiful soul will return to it’s Lord..

Dengan penuh haru, saya keluar dari area pemakaman. Pemandu sudah menunggu kami di depan pintu gapura keluar makam. Di balik tembok sebelah kanan galura keluar makam terdapat kendi-kendi berisi air. Air berkah. Peziarah biasanya berwudhu dengan air itu sebelum memasuki makam, dan pulangnya kembali ke kendi-kendi itu untuk meminum beberapa teguk air. Alhamdulillah atas nikmat setiap tetes air penuh berkah..

Jika di balik tembok sebelah kanan gapura keluar makam adalah kendi air berkah, di balik tembok sebelah kiri ada sebuah pintu yang menghubungkan ke arah makam Mbah Sonhaji (Mbah Bolong) dan beberapa makam para syuhada kecelakaan calon jemaah haji di Colombo tahun 1974. Ada sebuah pintu kecil menuju ke komplek makam Mbah Sonhaji dan syuhada para haji. Kisahnya pernah dibuat di berbagai harian di Surabaya dan Nasional. Bahkan pernah disusun buku khusus mengenai tragedi ini. Dituliskan 182 jemaah haji yang diberangkatkan dari Surabaya dan 9 awak pesawat meninggal karena kecelakaan itu. Sebagian jenazah dipulangkan kembali ke negeri, sebagian lainnya dikubur secara masal di sebuah jalan di Srilanka. Tahun lalu saya sempat membaca doa ziarah untuk mereka, tapi kali ini sepertinya saya lewatkan. Tidak nyaman membiarkan orang lain menunggu saya berdoa. Saya sempatkan mengucapkan salam dalam hati, dari saya untuk kedamaian mereka di alam sana.

Sebetulnya kalau kita perhatikan di sekeliling komplek makam Sunan Ampel itu banyak terdapat makam-makam tak dikenal, nisan tak bernama. Saya tidak pernah menanyakan kepada para penjaga, makam-makam siapakah itu semua. Tapi saya fikir mungkin makam para leluhur, makam para murid Sunan Ampel, dan makam warga sekitar. Kami menuju pintu keluar, tidak akan sempat melaksanakan shalat lagi sepertinya. Saya mungkin akan mengunjunginya lagi nanti sore, atau besok pagi. Jadi sementara dengan rela saya meninggalkan tempat ziarah itu dan kembali menuju bis kami.

Bersambung.. 🙂

Akan Menceritakan Perjalanan Ke Surabaya

Cerita perjalanan kali ini akan diawali dengan kutipan dari salah satu Ustadz favorit saya (Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat) melalui sebuah grup di whatsapp, kurang lebih begini redaksinya:

Berpergian itu menyehatkan jiwa. Ia makanan yang terlupa. Bukan saja kita perlu terlepas dari keterikatan “rumah” sementara kita, kita juga wajib mengumpulkan hikmah yang tersebar di semesta. Berpergian membawa kita pada cerminan apa yang bisa dilakukan manusia. Bagaimana batas-batas sempit itu hilang. Berpergian adalah makanan jiwa. Ceritakan tentang tempat-tempat yang didatangi. Tentang masyarakatnya, tentang suka dan dukanya, tentang pahit dan getirnya, manis dan senyumnya. Berpergianlah, sabda Baginda Nabi sawa, kau akan disehatkan.

Ini bulan kelahiran Baginda Nabi sawa. Bulannya bergembira, menurut Bapak saya. Bulannya memulai segala, menurut kakek saya. Menurut kakek (semoga Allah menyayanginya dan menganugerahinya tempat terindah di alam baqa), jika hendak memulai usaha, membangun rumah, menikah, dan melakukan hal-hal yang baik, mulailah di bulan Maulid Nabi sawa. Bulan Maulid Nabi sawa juga seringkali dijadikan awal mula perjalanan ruhani ke berbagai tanah suci, perjalanan ziarah kepada manusia-manusia shalih kekasih palung hati.

(Bahasa dan rima penulisan saya mulai terdengar seperti gaya berbahasa Ust. Miftah, hehe. Ini pasti karena setiap hari membaca tulisannya dan berulang kali membaca buku karyanya.)

Surabaya adalah salah satu tempat yang selalu ingin saya kunjungi sejak kecil dahulu. Kota inilah yang menjadi saksi dan bagian dari perjuangan para pahlawan negeri ini. Sebutan Kota Pahlawan disematkan kepadanya, bukti bahwa negara ini ada karena jasa para pahlawan di kota ini. Berbagai monumen kepahlawanan, museum peninggalan zaman penjajahan, makam para syuhada sejarah negara tersebar di hampir sekeliling kota. Setiap sudut bersejarah, setiap tempat mengingatkan setiap tetesan darah.

Di kota ini pula tinta para ulama terukir. Barisan nisan para penyebar Islam di Indonesia didirikan di tanahnya. Diziarahi tak henti setiap hari. Telusuri peta sebelah utara, makam Sunan Ampel dan mesjidnya tak henti diziarahi para pendoa. Dari sinilah, cerita perjalanan Surabaya saya berawal mula. Kerinduan akan berziarah kepada ulama penyebar Islam di Indonesia. Setidaknya, seperti itulah saya mendengar tentangnya.

Sebenarnya saya bisa saja pergi sendiri ke kota itu. Namun, kali ini saya ingin berbagi perjalanan saya dengan kakak saya. Seminggu sebelum membeli tiket, saya menawarkan apakah dia mungkin ikut bersama saya. Dia sudah pernah melakukan perjalanan ke Surabayanya sendirian tiga tahun lalu, dan menjelajahi kota sekelilingnya. Saya fikir tidak ada salahnya mengajak dia lagi, apalagi dia sudah lama ingin menziarahi Alm. Gusdur di Tebu Ireng, hanya sekitar 2 jam melalui kereta dari Surabaya. Ternyata dia setuju, dengan syarat; dia tidak akan selamanya menemani saya di sana. Dia memiliki acara sendiri dengan beberapa temannya. Saya fikir itu tidak masalah, dan kami sepakat pergi.

Dan lihatlah disana, seorang perempuan muda sedang berlari menuju Stasiun Kereta yang akan membawanya pada perjalanan kota Soera dan Baja..

bersambung.. 🙂

Jakarta, Jakarta : Malam Terakhir Bersama Juwita (Malam)

Teman saya yang wartawan itu, Juwita sepertinya jadwalnya padat sekali. Kalau tidak salah tadi malam sebelumnya dia bilang bahwa dia akan mengantar pacarnya mencari kosan malam ini. Jadi dia akan pulang agak larut. Sebagai “penumpang” yang baik, saya tidak complain, tentu saja. Saya fikir, sembari menunggunya  pulang, saya akan berjalan-jalan di sekitar Jl. Sabang.

Tempat yang selalu ingin saya kunjungi  di daerah yang baru saya datangi adalah pasar tradisional dan tempat-tempat ibadah yang ada di sekitarnya. Dari sanalah kita bisa mengenal orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Namun kala itu, sudah memasuki senja, dan sepertinya tak ada pasar terdekat. Gerimis pula. Saya putuskan mencari mesjid terdekat. Ternyata ada sebuah mesjid di sekitar Jl. Sabang. Saya memasukinya dan bergabung bersama jemaah yang lainnya.

Berbicara dengan orang asing selalu berkesan bagi saya. Hal itu seperti terapi jiwa. Kita membuka hati kita untuk mendengar kisah mereka, kita mempercayakan pada mereka untuk mendengar kisah kita. Saling mengenal, kita jadi punya teman atau bahkan saudara.  Di mesjid itu saya berbicara dengan beberapa jemaah. Ada yang berkunjung sembari beristirahat sepulang kerja, ada yang sedang menunggu untuk janji bertemu. Semua percakapan itu hanya diawali oleh satu senyum.  Saya fikir 90% orang akan membalas senyum kita apabila kita memberi senyum lebih dulu.

Selesai ibadah, saya beranjak keluar. Mencari tujuan untuk makan. Jl. Sabang tidak perlu diragukan untuk urusan kuliner. Sepanjang tepi jalan tersebut berderet tenda-tenda penjual makanan untuk dikunjungi. Tinggal pilih yang sesuai selera. Saya memutuskan untuk makan Soto Betawi di salah sebuah tenda di dekat mesjid. Saya penggemar Soto Betawi. Santan dan emping, tidak sehat katanya, namun enak jika tidak berlebihan! Hehe.

Di tengah makan malam saya, tiba-tiba teman saya mengirim pesan. Katanya dia sedang dalam perjalanan pulang, menuju Jl. Sabang. Akhirnya saya mengajaknya makan bersama. Lalu kami pulang menuju kosannya, sekali lagi dengan tak berhenti bercerita. Berbicara dengan teman lama pun terapi jiwa.

Kami sampai di tempat kosnya. Dia sepertinya lelah sekali. Beberapa menit kami sampai di kamarnya, di tengah perbincangan kami, ternyata dia sudah terlelap lebih dahulu. Saya masih terjaga, menonton film di laptopnya, sampai beberapa jam kemudian.

Esok paginya, kami bangun lebih pagi. Alarm sengaja kami pasang agar kami bangun pagi tepat waktu. Hari itu rencananya kami berangkat bersama. Hmm.. berarti hari terakhir kami bertemu. Sulit menuliskan rasanya seperti apa, saya sedih sekali di dalam hati. Saya fikir, entah kapan lagi kami dapat bertemu. Jakarta-Bandung memang dekat, namun kesibukan kami tidak pernah dapat berkompromi. Kami tidak ingin membicarakan perpisahan kami, tak rela. Kami lebih rela mengisinya dengan tetap saling bercerita sembari berdandan.

Setelah kami bersiap, kami menuruni tangga, menuju kantin kosan untuk sarapan bersama. Ada yang berbeda lagi, makan paginya tidak selayaknya anak kuliahan yang juga anak kosan. Sarapan paginya hanya satu buah pisang dan segelas air putih. Sehat, katanya. Saya melihat menu sarapan saya di atas piring. Satu porsi nasi rames dan segelas susu kedelai. Bagi saya, butuh energi yang ekstra untuk menaklukan kerasnya Jakarta.

Selesai sarapan, kami menuju Jl. Jaksa. Itu adalah salah satu akses menuju transportasi ke arah kantor teman saya. Memang bukan yang terdekat, tapi kami sepakat melalui jalan itu karna meeting point saya dengan tim di sekitar Jl. Jaksa pula. Adalah kami.. menyusuri Jl. Jaksa pagi hari. Saya baru melihat keadaan jalan tersebut dengan jelas pagi itu. Ketika pertama kali melaluinya 2 hari lalu kan malam hari, jadi tidak terlalu jelas melihat sepanjang jalan tersebut. Sekilas, jalan ini mengingatkan saya akan Jl. Braga di Bandung. Tekstur badan jalannya mirip.

Saya meminta teman saya menceritakan tentang kehidupan masyarakat di sekitar Jl. Jaksa. Tentang tuan rumah dan tamunya. Tentang kehidupan siang dan kehidupan malamnya. Sembari mendengarkannya bercerita, saya melihat kedua sisi Jl. Jaksa. Kedai-kedai yang buka hingga menjelang Shubuh,  sedang mulai dibersihkan dan dirapihkan. Kursi-kursi diangkat dan ditumpuk di atas meja. Botol dan kaleng minuman ditumpuk dan dikumpul ke dalam kantong-kantong besar. Mobil pengangkut tak lama lagi akan menepi, mengangkut kantong-kantong itu.

Yang khas di Jl. Jaksa, kita akan sering berpapasan dengan turis asing yang menginap di penginapan-penginapan sekitar Jl. Jaksa. Kami berpapasan dengan beberapa diantaranya. Beberapa dari mereka barusaja keluar dari hotel tempat mereka menginap. Beberapa hanya menggenakan kaus tanpa lengan, celana sebatas lutut, dan hanya beralaskan sandal jepit. Namun di balik punggungnya, sebuah backpack menempel. Mereka sedang bersiap menelusuri Jakarta hari itu sedari pagi. Beberapa warga Indonesia mengajak mereka berfoto bersama. Dulu saya pun begitu. Rasanya wah jika melihat orang asing. Seringkali saya ajak mereka berfoto bersama. Sekalian melatih keberanian berbahasa Inggris saya yang di bawah pas-pasan.

Kami hampir sampai di ujung jalan, dan di sanalah kami akan berpisah. Kami saling berpelukan dan berjanji satu sama lain untuk saling tetap menghubungi. Meski dalam hati kami, tidak pernah tahu kapan akan benar-benar bertemu lagi.  Saya ingin menunjukkan foto kami berdua yang kami ambil pagi itu. Dalam 3 hari itu, hanya pada foto inilah kami sama-sama berpose. Aneh juga, saking asik bercerita, kami hampir lupa mengambil foto.

Dan saya sudah bertemu dengan tim saya, dan teman saya pun mulai menjauh. 5 menit kemudian, kami berkirim pesan, dengan harapan semoga kami dapat segera bertemu kembali. 🙂